Beberapa minggu yang lalu, penulis menyempatkan mendatangi sebuah peternakan kelinci hias di Parongpong Bandung Utara. Penulis merasa tertarik datang ke peternakan kelinci setelah secara tak sengaja mendapatkan gambar jenis kelinci dunia yang begitu beragam dan memiliki keunikan masing-masing. Ada jenis Holland Loop, Fuzzy Loop, Dwarft Hotot, Satin, Harlequen, Netherland Dwarft dan puluhan jenis kelinci lain dari berbagai suku bangsa. Dari pengenalan gambar dan keterangan di internet tersebut penulis disadarkan oleh perspektif baru bahwa kelinci yang kita kenal selama ini di kampung-kampung yang dipelihara para petani bukanlah termasuk kelinci hias, melainkan jenis pedaging. Kelinci hias memiliki beragam bulu dan bentuk fisik dengan keunikan yang luar biasa.
Setelah beberapa saat berbicara kepada seorang petani, Pak Sabar, penulis ditanya; dari mana Anda tahu ada peternakan kelinci di sini?
“Saya dapat dari berita di Internet pak,” jawab saya singkat. Kontan, Pak Sabar hanya menjawab, o. Entah tahu atau tidak Internet itu makhluk apa. Yang ia tahu, bahwa majikannya, seorang dokter di rumah sakit terkemuka di Bandung itu konon sering diliput wartawan atas kesuksesan mengelola agroindustrinya. Selain ternak ternak ayam, itik, domba dan sapi sang bos beternak kelinci hias dari berbagai jenis bangsa. Nah, kedatangan saya ke Pak Sabar tersebut adalah untuk membuktikan apakah benar kelinci-kelinci jenis hias itu sama bagus dan menarik dari sisi bisnis sebagaimana banyak diberitakan di koran-koran, terutama di Internet. Ternyata benar. Kelinci jenis hias di Parongpong dan Lembang Bandung yang sudah berpuluh-puluh tahun ada itu sangat menarik perhatian. Saya merasa agak “menyesal”, tinggal lama di Bandung namun baru tahu ada banyak jenis kelinci hias yang diternakkan sedemikian cerdas dan profesional, sehingga menghasilkan kekayaan bagi sang pemodalnya. Ya, beruntung ada Internet.
Internetlah yang memperkenalkan kepada kita tentang dunia lain yang sebenarnya dekat tapi selama ini kita abaikan. Dengan Internet selama ini kita justru sering banyak tahu berita dari negeri jauh dan lupa akan lingkungan terdekat. Beruntunglah kiranya dengan Internet orang asing yang menulis peternakan kelinci itu menyadarkan bahwa di sekitar kita ada potensi bisnis yang besar namun sering diabaikan masyarakat kita.Setelah pulang dengan membeli beberapa ekor kelinci hias, penulis langsung kembali ke meja Internet. Berhari-hari saya telusuri tentang fenomena peternakan kelinci di Indonesia melalui Internet. Alhasil, ternyata ternak kelinci sedang ngetren diperbincangan di beberapa milist. Banyak juga berita-berita lokal tentang kelinci, terutama kelinci untuk jenis pedaging. Sedangkan berita dari luar negeri lebih banyak didominasi oleh pengelolaan kelinci hias sebagai salahsatu jenis hobi.
Tapi setelah dua tahun terakhir ini kaum peternak memperlihatkan hasil budidaya kelinci impor melalui Internet, mendadak banyak orang tertarik mengenal kelinci lebih jauh. Berbagai jenis kelinci dunia ternyata sudah banyak bertebaran di beberapa daerah, seperti Lembang, Parongpong (Bandung), Klaten, Semarang, Surabaya, Cipanas (Bogor), Temanggung, Magelang (Jawa Tengah) dan lain-lain. Dari Internet, ribuan orang sekarang dikenalkan oleh hal-hal yang baru yang tadinya hanya diketahui sedikit orang, terutama para peternak di Lembang dan Parongpong di Bandung. Melalui Internet inilah kemudian terjadi kenaikan bisnis yang nyata. Beberapa peternak yang pernah diliput media dan tampil di Internet atau mereka para peternak yang sengaja mengiklankan melalui media online langsung mendapatkan banyak respon yang positif. Kenaikan omset pun meningkat mengingat pesanan dari berbagai daerah bertambah pesat. Dampaknya, beberapa anak muda yang kreatif menangkap peluang ini pun langsung mencoba membudidayakan ternak kelinci di lingkungan masing-masing.
Dari sini kita bisa memetik pelajaran berharga bahwa dunia bisnis Internet tidak selalu berurusan dengan hal-hal yang glamor sebagaimana yang dipikirkan banyak orang. Dunia bisnis internet sebagaimana di banyak negara maju sebenarnya lebih banyak berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya tradisional daripada bisnis modern. Seyogianya kaum cyberis tidak perlu lagi sungkan menggali nilai-nilai tradisional yang sudah ada untuk kemudian dikembangkan prospeknya melalui Internet. Tidak ada salahnya kita belajar dari kelinci agar kita tidak hanya jadi kelinci percobaan bisnis di era global sekarang ini.
Gerak ternak di jalur Internet
Salahsatu fenomena perkembangan bisnis ternak kelinci berbasis Internet bisa kita ambil dari seorang pemuda dari Temanggung Jawa Tengah. Farid Ibrahim (27), di awal tahun ini memilih beternak kelinci jenis impor. Alasannya karena modal untuk untuk ternak kelinci tidak terlalu besar. Kebutuhan rumput tidak banyak. Dengan memelihara sebanyak 20 ekor kelinci induk ia hanya butuh pakan satu karung, setara dengan kebutuhan seekor kambing. Pakan tambahan bisa dicari dari pakanan unggas seperti bekatul, dedak atau pelet. Farid yang juga salahsatu pengajar di pesantren “Ridlo Allah” Kaloran Temanggung itu pada mulanya memang tertarik dari salahsatu peternak di Kawasan Wisata Bandongan Semarang. Namun alasan yang membuat ia tergerak berani memilih ternak kelinci adalah karena informasi yang ia dapatkan dari internet. Dari informasi itu ia mendapatkan banyak pelajaran tentang metode peternakan kelinci, ia pun memberi beberapa buku tentang peternakan kelinci. Belajar otodidak ini membuatnya merasa percaya diri untuk menjadi peternak serius. Internet pula yang membuat Farid memiliki akses jaringan yang luas dari para peternak di beberapa daerah di luar kota, seperti Purwokerto, Semarang, Lembang, Parongpong (Bandung), Cipanas Bogor, Jakarta, Klaten dan lain-lain.
Melalui komunikasi internet –yang kemudian berlanjut pada komunikasi selular hingga hubungan darat- Farid menjalin relasi untuk mencari bibit kelinci jenis hias dari Bandung, terutama dari Parongpong. Berbagai jenis hias yang selama ini hanya dimiliki peternak elit dengan harga mahal ia kembangkan di Temanggung. Alasannya, di daerah Jawa Tengah jenis-jenis hias tidak sebanyak di Bandung. Dengan demikian ia merasa percaya diri menawarkan beragam jenis kelinci hias di Temanggung dan sekitarnya. Dari internet pula Farid mengembangkan hubungan yang harmonis dengan seorang saudagar pakan ternak terkenal dari Klaten. Dari Klaten itu ia bisa membeli harga pakan ternak kelinci lebih murah dibanding harga pelet unggas atau pakan jenis lain.
Selain relasi tersebut, Farid juga sering mendapat pesanan kelinci beragam jenis dari daerah-daerah lain, sampai-sampai ia merasa kebingungan dengan permintaan pasar. Ia tidak mungkin menjual induknya, sebab kalau induk dijual berarti tidak ada lagi anakan yang akan dijual. Karena itu yang dibutuhkan Farid sekarang adalah menambah jumlah induk dengan cara tidak menjual anaknya dalam jangka waktu 6 bulan agar menjadi induk-induk tambahan. Dengan begitu kelak beberapa induknya akan menghasilkan anakan-anakan kelinci hias lebih banyak dan mampu memenuhi permintaan pasar lebih besar.
Pangsa Pasar Kelinci
Di luar peranan internet dalam memainkan perkembangan ternak kelinci, apakah dari sisi bisnis kelinci benar-benar menguntungkan? Dari pelbagai perbincangan penulis dengan para peternak di Lembang, Parongpong dan peternak daerah lain melalui internet dan wawancara telepon saya bisa memberikan rasio perhitungan berikut ini:
Analisa budidaya kelinci impor untuk kategori pedaging per 50 ekor induk untuk peliharaan setahun:
1) Biaya Produksi
a. Rumah untuk kandang Rp 1.500.000
b. Kandang besi dan perlengkapan Rp. 2.000.000,-
c. Bibit induk 50 ekor @ Rp. 100.000, = Rp. 5.000.000,-
d. Pejantan 5 ekor @ Rp. 150.000,- Rp. 750.000,-
e. Pakan rumput (relatif)
Pakan pellet/konsentrat perbulan kira-kira Rp 100.000 x 12= 1.200.000
f. Obat dan vitamin (setahun) Rp. 500.000
h. lain-lain termasuk rumput 1 juta
Jumlah biaya produksi Rp. 11.950.000
2) Pendapatan rata-rata 46 ekor:
Pilihan penghasilan dalam setahun:
a. Jual anak (usia 1 bulan) dari 46 ekor betina x 6 anak = 276 x 6 ( dalam setahun)= 1656 ekor x Rp 10.000 (harga anak): Penghasilan bersih 16.560.000<!--[endif]-->
b. Jual (dewasa 4 bulan) dari 46 betina x 6 anak = 276 x 3 (dalam setahun)= 828 x Rp 40.000 (harga dewasa) = 33.120.000:<!--[endif]-->
(keuntungan dikurangi biaya tambahan makan dan obat Rp 1.000.000): penghasilan bersih Rp 32.120.000
c. Jual (bibit 7 bulan) dari 46 betina x 6 anak = 276 x 1 (7-12 bulan) = 276 x Rp 150.000 = Rp 41.400.000<!--[endif]-->
(keuntungan dipotong biaya tambahan makan dan obat Rp 2.000.000)
Penghasilan bersih = Rp 38.400.000
Keuntungan tersebut bisa juga dikombinasikan dengan membagi penjualan anak mulai dari umur 1 bulan sampai umur 6 bulan (induk). Untuk kelinci hias biaya induk lebih mahal. Namun keuntungannya 2x lipat lebih tinggi. Jadi sebenarnya kalau kita hitung secara kalkulatif, ternak kelinci dengan modal antara 10-12 juta dalam waktu 7 bulan sudah balik modal. Untuk selanjutnya peternak bisa meraih keuntungannya. (Catatan: Hitungan yang saya buat tersebut tentu saja hanyalah prakiraan. Bisa saja kurang dan bisa lebih)
Bagi yang tidak memiliki modal besar jangan khawatir. Sebab ternak kelinci juga bias dimulai dari beberapa ekor. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kelinci sudah menjadi kebutuhan massal di masyarakat kita? Memang, untuk jenis kelinci pedaging kita tidak melihat potensi pasar seluas peliharaan lain seperti domba dan unggas. Hanya sedikit orang yang tertarik mengonsumsi kelinci, itupun dalam kurun waktu yang relatif lama. Tapi di beberapa kota besar seperti Malang, Yogyakarta, Bandung Utara, Semarang dan beberapa kota lain sekarang ini kebutuhan sate kelinci lumayan meningkat di banding 5 tahun sebelumnya. Bahkan pasokan daging kelinci masih teramat kurang. Ini artinya pasar masih sangat terbuka lebar.
Kekhawatiran akan terjadinya over-produksi barangkali belum perlu dipikirkan. Kalaupun dalam jangka waktu 5 tahun ke depan over-produksi terjadi, para peternak masih bisa mengembangkan pasar ke kalangan masyarakat. Masyarakat kita sebenarnya lumayan suka dengan daging kelinci, hanya saja karena kurang terbiasa sehingga daging kelinci kurang dilirik. Saya kira ketika ada stok daging kelinci di pasar sebagaimana daging sapi, kambing kemungkinan besar daging kelinci termasuk komoditi yang sangat bagus. Di sinilah pentingnya promosi lebih giat dari media massa dan pemerintah agar daging kelinci yang memiliki protein tinggi dan minim kolesterol ini dikonsumsi masyarakat. Jenis kelinci hias lebih mahal dari pedaging. Satu hal yang membuat peternak kelinci hias akan berkembang adalah ketika masyarakat mulai mengemari hobi memelihara kelinci. Sebenarnya kelinci hias seperti Holland Lop, Fuzzi Lop (Belanda), Dutch (Belgia), Rex (Amerika) dan berbagai jenis lain sangat menarik di banding dengan memelihara kucing atau anjing sekalipun. Hanya saja karena masyarakat kita belum begitu mengenal beragam jenis hias impor sehingga belum tertarik. Saya yakin jika para penggemar hewan peliharaan itu mengenal lebih dekat tentang kelinci, mereka tidak akan lama-lama merogoh kocek untuk membelinya.(dimuat di majalah Infovet edisi Desember 2007)
Siti Nur Aryani.
Sumber : Powering Public Reading
Wiring Sockets In Series
-
[image: Wiring sockets in series]
Wiring sockets in series
Most standard 120-volt household circuits in your home are (or should be)
parallel circuits. Ou...
7 bulan yang lalu
0 respon:
Posting Komentar
give me an idea...